Tidak terlalu mencengangkan membaca kelangkaan
talent di Indonesia seperti juga pembahasan dalam majalah SWA edisi
07/2012. Jika Anda adalah pelaku HR baik internal perusahaan maupun
konsultan yang lebih berkecimpung dalam proses seleksi dan pemetaan
potensi, tentu kabar ini juga tidak terlalu bombastis.
Hal ini pula yang menguras energy HRD untuk dapat mempertahankan orang-orang istimewa/potensial. Pada saat yang sama, orang istimewa ini tidak lagi berasal dari generasi X apalagi Babyboomers yang cenderung ‘menikahi perusahaan’. Generasi Y memiliki semangat berbeda dan mengganti kesetiaan terhadap perusahaan menjadi kesetiaan profesi atau work engagement. Generasi yang terlahir tahun 1980an – 1990an (ada yang menyatakan termasuk mereka yang lahir di akhir 1980an) menjadi tantangan tersendiri karena lebih cuek pada ‘kemapanan’. Mereka lebih aktif dalam menciptakan ‘kemapanan’ dan kenyamanan personal. Perusahaan pun dituntut lebih kreatif untuk menciptakan pola dan nuansa kerja yang lebih pas sehingga dapat memperpanjang usia hubungan kerja.
Hal ini pula yang menguras energy HRD untuk dapat mempertahankan orang-orang istimewa/potensial. Pada saat yang sama, orang istimewa ini tidak lagi berasal dari generasi X apalagi Babyboomers yang cenderung ‘menikahi perusahaan’. Generasi Y memiliki semangat berbeda dan mengganti kesetiaan terhadap perusahaan menjadi kesetiaan profesi atau work engagement. Generasi yang terlahir tahun 1980an – 1990an (ada yang menyatakan termasuk mereka yang lahir di akhir 1980an) menjadi tantangan tersendiri karena lebih cuek pada ‘kemapanan’. Mereka lebih aktif dalam menciptakan ‘kemapanan’ dan kenyamanan personal. Perusahaan pun dituntut lebih kreatif untuk menciptakan pola dan nuansa kerja yang lebih pas sehingga dapat memperpanjang usia hubungan kerja.
Fenomena generasi Y semakin terasa di Indonesia, di mana istilah flexy-hours mulai akrab di kalangan professional. Jika sebagian memandang gerah tuntutan flexy-hours dan tetap menuntut perlunya pertemuan fisik sebanyak mungkin, sebenarnya flexy-hours tidak sekedar mencerminkan kebebasan dan tidak ingin terikat. Flexy-hours
justru mencerminkan kemandirian mental dan tanggung jawab dalam
mengelola waktu. Perusahaan tidak perlu menjadi ‘satpam’ yang mengawasi
gerak-gerik pekerja dan memastikan tidak adanya dead-line yang molor
atau main mata dengan perusahaan competitor melalui fasilitas kantor.
Pola-pola seperti ini sebenarnya telah ‘diambil alih’ secara personal
dengan keterikatan yang lebih halus namun tidak kalah kuat.
Kembali pada permasalahan kelangkaan talent, maka
tuntutan perubahan dalam dunia kerja menjadi pekerjaan rumah tersendiri.
Bagaimana dengan para kandidat maupun professional Indonesia?
Perkembangan konsultasi online dari awal Konsultankarir.com hadir di
tahun 2008 hingga kini cukup menggembirakan. Artinya, kini telah banyak
pembaca/penulis surat konsultasi yang mulai menyadari bahwa
perkembangan karier tidak semata di tangan perusahaan, melainkan diri
sendiri. Akan tetapi, selain pertanyaan tentang minat karir, aspek lain
yang perlu dikembangkan adalah keyakinan pada diri dan pikiran
positif. Faktor psikologis ini tidak hanya pada mereka yang baru lulus
kuliah (fresh graduate) melainkan juga yang telah bekerja.
Aspek ini sangat penting bagi diri sendiri karena pikiran negative
cenderung menutup alternative dan kesempatan yang sebenarnya bertebaran
di sekitar diri. Kurangnya keyakinan diri dan kecenderungan berpikir
negatif lah yang mengaburkan kenyataan seperti telah mengenyam
pendidikan, baik SMA atau perguruan tinggi, juga pengalaman kerja-1
tahun atau lebih. Dalam pengamatan saya, salah satu factor kelangkaan
talent di Indonesia ada pada aspek psikologis, bukan semata kemampuan
teknis. Masih cukup banyak dalam proses seleksi, kandidat yang belum
serius menggali diri dan minatnya, sehingga yang tampil adalah ‘apapun
deh…. pokoknya kerja’ . Padahal bahasa tubuh ini jelas tidak menarik
calon pemberi kerja. Bagaimana akan bersaing jika semangat juang diri
saja entah di mana?
Semakin terbukanya dunia membuka banyak kesempatan
sekaligus tantangan lebih luas. Persaingan tidak hanya dalam level
nasional namun juga internasional. Peminat kerja tidak hanya dari
Indonesia melainkan negeri lain dengan level yang mulai bervariasi.
Dalam persaingan ini, modal psikologis mestinya menjadi semangat diri,
sehingga dinamika dunia kerja global menjadi kekayaan tersendiri, bukan
sebaliknya